Wednesday, October 6, 2021

 Judul Buku: INERRANCY: KETAKSALAHAN ALKITAB

Penulis: Pdt. Dr. Arnold Tindas, M.Th.

Penerbit: Harvest International Theological Seminari (HITS)

Diterbitkan: Di Jakarta 2017.

 

 

BAB  KEDUA

PANDANGAN  KAUM  ISLAM TENTANG

INERRANCY DAN ERRANCY ALKITAB

 

 

Pandangan kaum Islam tentang Alkitab disertakan pada pembahasan ini, mengingat lingkup sebagian besar pembaca berada dan hidup di sebuah negeri, Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam.  Pandangan kaum Islam tentang Alkitab memberi nuansa tersendiri karena di dalamnya terdapat pengakuan akan adanya dua macam Alkitab, yaitu Alkitab yang tanpa salah (inerrancy) dan yang dapat salah (errancy).  Karena itu  pada bagian ini akan dibahas tentang pandangan kaum Islam mengenai Alkitab tanpa salah dan juga mengenai Alkitab bisa salah.

 

 

Pandangan Mengenai Alkitab Tanpa Salah (Inerrancy)

 

Pandangan Islam tentang Alkitab tanpa salah tidak dimaksudkan untuk menunjuk Alkitab yang ada dan digunakan oleh orang Kristen selama ini, melainkan pada “Alkitab” yang diduga ada masa dahulu dan belum dipalsukan atau dirusakkan.  “Alkitab” tersebut terdiri dari al Tawrat, yaitu lima kitab Taurat yang diberikan kepada Musa (Sura 46:12; 62:5); Zabur, kitab Mazmur yang diberikan kepada Daud (Sura 4:163; 17:55); dan al Injil, kitab Injil yang diberikan kepada Yesus (Sura 3:48; 57:27). Pandangan tentang adanya Alkitab inerrancy tersebut dikemukakan oleh H. Bey Arifin dalam bukunya, berjudul Maria, Yesus dan Muhammad. Alkitab inerrancy, atau yang oleh Arifin dipandang sebagai wahyu yang belum mengalami perubahan itu, diduga mengajarkan agama yang sama dengan agama yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Menurutnya, pokok-pokok pengajaran dari semua nabi dan rasul tidak ada perbedaan sedikit pun kecuali cabang-cabangnya, yaitu mengenai aturan-aturan dan hukum-hukum.  Nabi-nabi dan rasul-rasul itu seagama, sefaham, se-Tuhan dan tak pernah berselisih.  Timbulnya bermacam-macam agama disebabkan oleh orang-orang yang mengikut para nabi dan rasul-rasul Allah. Mereka telah mengubah pelajaran-pelajaran yang mereka terima, karena menurutkan hawa nafsu dan mempertahankan kepentingan diri dan keturunan mereka masing-masing.[1] Pandangan Arifin didasarkan pada  kutiban dari kitab An-Nisaa ayat 163 dan 164, berbunyi:

 

Apa yang kami wahyukan kepada engkau hai Muhammad, adalah sama dengan apa yang telah kami wahyukan kepada Nuuh, dan semua nabi-nabi sesudah Nuuh, sama pula dengan apa yang kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaaq, Ya’quub dan turunan-turunannya, sama apa yang kami wahyukan kepada Yesus, Ayuub, Yunus, Harun, Sulaiman dan kepada Dawuud kami serahkan kitab Zabuur.

Begitu pula yang kami wahyukan kepada Rasul-Rasul yang kami terangkan riwayat mereka kepada engkau, dan banyak lagi Rasul-Rasul yang tidak kami terangkan riwayat mereka kepada engkau ...............[2]

 

Ahmad Deedat memandang wahyu Allah kepada Muhammad, ketika dicatat dalam bentuk tulisan Al-Qur’an, sama sekali tidak dicemari oleh tangan-tangan manusia, karena itu terjaga kemurniannya. Wahyu pertama kepada nabi Muhamad diberikan oleh Allah melalui malaikat Jibril ketika nabi sedang bertapa di gua Hira, pinggiran kota Mekkah pada tanggal 27 Ramadlan di malam hari, tahun 610 Masehi, ketika ia berusia 40 tahun. Kalimat-kalimat bahkan kata demi kata berasal dari Allah, karena disebutkan bahwa ketika malaikat memintanya untuk membaca kitab Tuhan yang dibuka di hadapannya, nabi Muhammad berulang kali memberi jawaban bahwa ia tidak bisa membaca.[3] Selengkapnya, Al-Qur’an yang terdiri dari 114 surat dan 6000 ayat diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.[4] Al-Qur’an, menurut keyakinan Islam, diturunkan (nuzul) dari sumber wahyu (umm al-kitab) yang ditulis pada tablet kekal (lauh mahfuz), tersimpan di langit ketujuh.[5]  Menurut pandangan Islam, semua kata, bentuk kalimat bahkan titik dan koma sekalipun, berasal dari Allah, sesuai dengan teksnya yang asli di sorga. Dalam Surah 7:157, Muhammad disebut nabi ummi, yang ditafsirkan sebagai nabi yang buta huruf, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, sehingga diakui bahwa nabi Muhammad tidak mengarang sendiri atau menambah suatu apa pun di dalam Al-Qur’an.[6]

 

Kalau dalam kitab An-Nisaa ayat 163 disebutkan tentang kesamaan status Al-Qur’an dan Alkitab di mata Tuhan, maka dengan demikian umat Islam mengakui juga bahwa pewahyuan, penulisan dan isi “Alkitab” yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul sebelumnya, berasal dari kitab Tuhan, umm al-kitab, dan ditulis tanpa tercemari oleh tangan manusia. Kata-kata, bentuk kalimat maupun tanda baca yang diturunkan kepada Musa, Daud dan Yesus Kristus, juga berasal dari Allah. Dengan begitu “Alkitab” terjaga juga kemurniaannya dan sudah tentu inerrancy.

 

Umat Islam juga menerima dan percaya “Alkitab” itu sebagai firman Allah karena mereka mengakuinya sebagai Kitab Suci dari Tuhan, tidak berbeda dengan pengakuan terhadap Al-Qur’an. Keyakinan ini nampak dalam salah satu ayat di antara daftar ayat-ayat yang dianjurkan oleh Arifin  untuk menjadi pegangan orang-orang Islam dalam menghadapi agama-agama lain. Salah satu pegangan itu terdapat dalam Al-Angkabuut 46, berbunyi demikian:

 

Berdebatlah dengan Ahlul Kitab [Yahudi dan Kristen] dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan berdebat dengan mereka yang tak jujur, katakanlah kepada mereka, bahwa kami [orang Islam] percaya akan Kitab Sucimu (Bible) dan Kitab Suci kami [Al-Qur’an]: Tuhan kami dan Tuhan-mu sama [Satu], hanya kami beragama Islam.[7]

 

Rahmatullah Alhindi juga mengakui adanya “Alkitab” tanpa salah dahulu, sebelum “dirusakkan” atau mengalami pengubahan. Alkitab sebenarnya, menurut Alhindi, memuat wahyu yang asli, yang diulang dalam bentuk deskripsi dalam Al-Qur’an, khususnya tentang tauhid (dasar keimanan monoteisme), hari kebangkitan dan kehidupan para nabi dahulu. Tetapi para pemeluk agama Yahudi dan Kristen telah merusak keaslian wahyu itu. Ia memaparkan demikian:

 

Orang-orang pemeluk agama samawi seperti Yahudi dan Kristen telah merusak keaslian wahyu, terutama tentang dasar keimanan monoteisme, kebangkitan dan misi para nabi terdahulu. Alqur’an berulang kali menjelaskan hal ini dengan menggunakan berbagai gaya untuk menarik perhatian.  Peristiwa di masa nabi-nabi tersebut dijelaskan dalam ayat berulang-ulang dengan gaya yang berbeda, menunjukkan kefasihan ketuhanan dalam ayatnya.[8]

 

Posisi “Alkitab”, sebagai wahyu asli yang belum dirusakkan, dalam keyakinan orang Islam mendapat tempat level sejajar dengan Al-Qur’an sebagai Kitab Suci dari Tuhan, karena disebutkan berasal dari Tuhan yang sama. Sebagaimana Al-Qur’an yang diakui berasal dari Kitab Tuhan dan sudah tentu tanpa kesalahan, maka demikian juga “Alkitab” yang berasal dari Tuhan yang sama itu juga inerrancy, tanpa kesalahan. Permasalahan utama di kalangan umat Islam adalah pengakuan terhadap Alkitab, yang riil ada dan digunakan oleh umat Kristen menjadi pegangan dan pedoman kehidupan.  Pada umumnya umat Islam tidak mengakui Alkitab itu sebagai firman Allah, karena dipandang mengandung kasalahan-kesalahan.  Karena itu berikut ini akan dibahas tentang pandangan umat Islam tentang Alkitab bisa salah atau errancy.

 

 

Pandangan Mengenai Alkitab Bisa Salah (Errancy)

 

Umat Islam tidak mengakui Alkitab yang dipakai umat Kristen sebagai Kitab Suci dari Tuhan, karena dipandang sudah mengalami perubahan, pemalsuan, manipulasi dan perusakan oleh tangan manusia. Alkitab yang dimaksudkan itu meliputi naskah asli tulisan para nabi dan rasul (original manuscript) , Alkitab Ibrani dan Yunani modern, dan semua versi terjemahan dalam berbagai bahasa di dunia.  Ahmed Deedat memandang bahwa ayat-ayat Alkitab merupakan buatan manusia, tidak memiliki sifat ilahi, dan oleh karenanya manusia penulis itu berbuat kesalahan.[9] Alhindi lebih tegas lagi menyatakan adanya kesalahan dalam Alkitab. Ia menunjuk adanya ayat-ayat yang kontradiksi dalam Alkitab, katanya:

 

Alkitab mengandung perselisihan ayat, kesalahan, dan tidak konsisten, juga ada kesaksian yang tidak bisa ditolak mengenai fakta bahwa Alkitab telah mengalami kerusakan, perubahan dan manipulasi yang dilakukan oleh manusia melalui beberapa zaman – penentangan Alqur’an terhadapnya di beberapa tempat adalah disengaja untuk menunjukkan bahwa yang dikatakan oleh Alkitab itu salah, dan ayat-ayat yang ditentang Alqur’an itu cacat dan mengalami kerusakan.[10]

 

Alhindi mengemukakan tuduhan bahwa orang-orang Kristen terdahulu telah memasukkan kesalahan-kesalahan ke dalam Kitab Suci mereka, dan terkadang memasukkan sesuatu yang tidak bisa dipercaya, yang dianggap cocok dengan sikap dan pandangan mereka pada waktu itu.[11] Ia kemudian memaparkan sebanyak mungkin perbedaan kata atau bunyi kalimat dari ayat sama yang terdapat dalam tiga versi, Ibrani, Yunani dan Samaria. 

 

Nampak sekali upaya Alhindi untuk menunjukkan kesalahan Alkitab itu dibuat-buat dan diungkapkan secara tidak jujur.  Ia tidak mengemukakan bahwa Alkitab orang Kristen yang dipakai sekarang ini disusun dari ribuan salinan, yang sudah tentu terdapat pengurangan atau penambahan kata-kata tertentu, yang tidak mengubah arti atau makna dari naskah asli (original manuscript).  Naskah asli yang dimaksud di sini tidak menunjuk pada “Alkitab” yang dalam “hayalan” umat Islam.

 

Sebenarnya Perjanjian Lama (PL) dalam bahasa Ibrani Modern dan Perjanjian Baru (PB) dalam Bahasa Yunani Modern secara jujur mencantumkan apparatus, berupa catatan kaki yang menunjukkan sebanyak mungkin perbedaan yang ada dalam naskah-naskah salinan. Tetapi   melalui kerja textual critizism para ahli sudah dapat memastikan dengan klasifikasi A, B, C atau D tulisan yang lebih dekat atau sama persis dengan naskah asli.  Terjemahan ke dalam berbagai versi Alkitab tentu akan mengalami perbedaan struktur kata dalam kalimat karena penyesuaian dengan bahasa versi tertentu.

 

Alhindi sendiri mengutip komentar Henry dan Scott bahwa versi Yunani dan Samaria tampak lebih dekat dengan aslinya dibandingkan dengan versi Ibrani dalam hal perbedaan kalimat yang terdapat pada Ulangan 32:5.   Dalam versi Yunani dan Samaria tertulis, “Mereka telah berbuat busuk terhadap mereka sendiri, noda mereka bukanlah noda anak-anak-Nya; mereka adalah generasi yang jahat dan berbelit.”  Sementara dalam versi Ibrani tertulis, “Mereka telah berbuat busuk terhadap mereka sendiri, yang tidak pantas bagi mereka: Mereka adalah anak-anak haram dan penuh noda.”[12] Sudah dapat dipastikan bahwa  tulisan asli yang dimaksud oleh Henry dan Scott adalah original manuscript  bukan “Alkitab” inerrancy dalam Islam.  Ketaksalahan Alkitab yang dimaksudkan dalam buku ini adalah original manuscript bukan versi-versi terjemahan atau salinan-salinan.

 

Arifin menambahkan beberapa kutiban ayat yang memperkokoh pandangannya bahwa Kitab Suci orang Kristen sudah mengalami perubahan dari aslinya, “Alkitab” inerrancy, misalnya dari Surah Al-Maidah ayat 15 dan Al-Baqarah ayat 87.  Dalam Surah Al-Maidah ayat 15, berbunyi:

 

Hai ahli kitab. Sungguh telah datang kepada kamu Rasul kami [Nabi Muhammad s.a.w.] menerangkan banyak perkara yang kamu [nenek moyangmu] sembunyikan dari isi Al-Kitab [Kitab Taurat dan banyak pula yang kamu hapuskan karena memberatkan kamu]. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya yang terang dan kitab yang suci (yaitu Al Qur’an dari Allah).[13]

 

Sedangkan dalam Al-Baqarah ayat 87, berbunyi:

 

Kepada nabi Musa kami turunkan kitab, dan kami kuatkan dia dengan beberapa Rasul sesudahnya, Yesus anak Maria kami beri keterangan-keterangan dan kami kuatkan dengan ruh qudus [Malaikat], tetapi masing-masing Rasul itu kamu dustakan mana-mana yang tak diingini nafsumu, kamu bersombong diri kepadanya, sebahagian mereka [Rasul] ada yang hanya kamu dustakan saja, ada pula yang kamu bunuh.[14]

 

Alkitab orang Kristen dipandang terdapat kebohongan karena menyembunyikan atau sudah mengalami penghapusan disengaja tentang perkara-perkara tertentu. Ini terjadi karena dusta dan kesombongan nenek moyang.  Hukuman karena perbuatan salah atau dosa, dalam  mengubah “Alkitab” yang inerrancy menjadi Alkitab yang errancy  adalah penganiayaan yang hebat. Kesalahan yang fatal adalah menyembunyikan keterangan-keterangan yang benar dari Allah.  Hukuman itu jelas disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 139, demikian:

 

Apakah kamu berani mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan turunannya adalah orang-orang Yahudi atau Nasrani? Katakanlah [hai Muhammad]: Apakah kamu lebih tahu atau Allah? Dan alangkah hebatnya keaniayaan orang-orang yang menyembunyikan keterangan dari Allah. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu perbuat.[15]

 

Jadi Muhammad diyakini juga sebagai nabi yang dipanggil Tuhan untuk mengingatkan orang-orang Yahudi dan Kristen tentang dosa harena mengubah Alkitab sehingga tidak lagi selaras dengan isi Al-Qur’an.  Hukuman sudah pasti, yaitu keaniayaan yang hebat, meskipun tempat pelaksanaannya belum pasti apakah, dalam kehidupan sekarang di dunia ini atau kehidupan nanti di akhirat.

 

 

Penyebab Perbedaan Alkitab dengan Al-Qur’an

 

Perbedaan isi yang terdapat dalam Alkitab dengan Al-Qur’an menjadi dasar pemikiran dan pertimbangan bagi Kaum Islam dalam mengambil kesimpulan bahwa Alkitab orang Kristen sudah mengalami perubahan yang disengaja.  Hal ini muncul dalam berbagai tulisan para sarjana Islam dan diyakini dengan begitu fanatik oleh umat Islam, karena didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis.  Sedangkan Alkitab, yang karena sudah ada ratusan tahun bahkan Perjanjian Lama sudah seribuan tahun sebelum nabi Muhammad, sudah  tentu tidak menyebut-nyebut status Al-Qur’an.  Dengan demikian tidak ada ayat-ayat Alkitab yang dapat dijadikan dasar untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an berisi cerita-cerita atau pengajaran-pengajaran yang dirubah dari Alkitab. 

 

Para sarjana Kristen hanya dapat menelusurinya secara historis bila menduga bahwa adanya perbedaan disebabkan oleh perubahan dalam Al-Qur’an, bukan dalam Alkitab.  Karena akal budi tidak dapat menerima bila tulisan yang ada terlebih dahulu mengubah dari tulisan yang bakal muncul kemudian. Dari perspektif ini  maka penelusuran sejarah dapat dilakukan untuk membuktikan bahwa Alkitab tidak mengubah dari Al-Qur’an. Orang Kristen percaya bahwa Alkitab ditulis dengan bahasa manusia penulis bukan disalin dari “kitab Tuhan”  yang didatangkan dari sorga. Jadi seorang nabi atau pun rasul tidak mungkin mengubah isi “kitab Tuhan” tersebut.

 

Persoalan yang menantang untuk penyelidikan lebih lanjut adalah pertanyaan-pertanyaan berikut ini: “Mengapa dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Alkitab sudah mengalami perubahan, perusakan atau penyesatan?” “Bukankah kitab-kitab PL sudah lebih dari 1000 tahun dan PB sudah lebih dari 500 tahun menjadi pegangan dan diakui inerrancy sebelum nabi Muhammad menerima wahyu?” “Apakah nabi Muhammad sudah menjadi simpatisan dari orang-orang Kristen Arab sebelumnya?” “Mengapa dalam Al-Angkabuut 46 disebutkan bahwa orang Islam percaya akan Kitab Suci Alkitab?” “Seberapa besar dampaknya apabila orang Islam menerima dan percaya Kitab Suci Alkitab yang digunakan oleh orang Yahudi dan Kristen?” “Apakah karena kekuatiran terhadap dampak yang bakal terjadi sehingga lebih baik mengatakan Alkitab sudah dirubah dari pada mengakuinya sebagai firman Allah yang benar dan inerrancy?”

 

Penelusuran sejarah tentang riwayat hidup (sirah) nabi Muhammad, untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pengumpulan dari sumber-sumber dan pembentukan Al-Qur’an serta keterhubungannya dengan Alkitab yang sudah ada dan digunakan lama sebelumnya, ternyata sangat sulit dilakukan.  Kesulitannya disebabkan oleh banyaknya tulisan yang berbeda tentang hikayat nabi, sehingga di kalangan para sarjana dan alim ulama Islam pun tidak sepakat dalam menentukan yang benar.  H. Kraemer, yang ingin mengungkap hikayat nabi Muhammad dengan sebenarnya, mengalami kesulitan dan berkomentar demikian: 

 

Kalau diperiksa dengan saksama, di antara isinja terdapat juga hal-hal jang kurang benar. Apa sebab? Tidak lain, melainkan pengarangnja begitu mendjundjung tinggi Nabinja sehingga mereka mengangkat-angkat Nabi dan mendjadikannja kekasih Tuhan jang dikurniai dengan akal budi, kebadjikan dan hikmat ma’djizat. Karangan-karangan jang demikian sifatnja menimbulkan banjak kesukaran untuk orang jang bermaksud mempeladjari riwajat hidup Nabi Muhammad.[16]

 

Sumber yang dapat digunakan dalam penelusuran sejarah, yang dilakukan oleh Kraemer, adalah tulisan para sarjana, yang menurutnya masih diragukan kebenarannya; cerita sahabat-sahabat nabi sendiri; dan sebagaian dari Al-Qur’an. Secara historis dikemukakan bahwa nabi Muhammad lahir pada tahun 570 M dan meninggal pada tahun 632 M. Ayah nabi bernama Abdullah bin Abdul-Muttalib, dari suku Banu Hasyim, golongan bangsa Quraisy.  Ibunya bernama Aminah, dari Banu Zuhra. Nabi Muhammad sudah menjadi yatim piatu sejak usia 6 tahun sehingga diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, kepala banu Hasjim.[17]    

Pamannya sering membawa Muhammad dalam perjalanan jauh untuk berdagang, di antaranya ke Syria.  Dalam perjalanan dagang dengan pamannya itu, ia pernah bertemu seorang biarawan Kristen, Bahira, yang mengenali tanda kenabian Muhammad, terdapat di punggungnya.[18]  Sejak kecil ia sudah hidup dalam kemiskinan, lahir dari keluarga yang melarat, bekerja memeras keringat, menggembalakan kambing dan mengangkat air dari sumur yang dalam di hawa yang panas terik, hanya untuk mendapatkan makan. Menurut Bey Arifin, kemelaratan beliau baru berakhir pada usia 21 tahun, setelah beliau pandai berdagang dengan memperdagangkan harta Khadijah, seorang janda kaya.  Muhammad, ketika berusia 25 tahun, bahkan menikah dengan Khadijah, yang ketika itu sudah berusia 40 tahun.[19]  Dalam perkembangan kerohaniannya, dipaparkan oleh Arifin demikian:

 

Dalam umur mendekati 30 tahun beliau banyak merenung, sedih melihat keadaan masyarakat yang amat bodoh, kotor dan penuh dengan kekacauan-kekacauan, perang antara kabilah dan pembunuhan-pembunuhan. Tak puas bermenung di rumah, beliau akhirnya memilih tempat terpencil, sebuah gua batu di puncak bukit tertinggi, Jabul Nur ... Ketika beliau mendekati umur 40 tahun, hampir seluruh kehidupan beliau berada di gua Hera itu, hanya pulang sekali-sekali mendapatkan isteri beliau dan mengambil bekal.[20]

 

Sedikit penelusuran sejarah di atas dapat memberikan gambaran tentang pergumulan hidup nabi Muhammad sejak kecil, yang tentunya sangat mempengaruhi kehidupan rohani dan panggilannya sebagai nabi. Pamannya, selain orang-orang yang pernah berjumpah dengan dia, tentu mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan rohaninya.  Kalau ia begitu tertantang untuk mentransformasi kehidupan masyarakat dalam hubungan dengan Tuhan, maka kemungkinan besar sebelum bertapa, ia sudah berusaha memahami keyakinan Kristen. Seandainya memang benar bahwa nabi Muhammad tidak bisa membaca dan menulis, maka pasti ia akan memanfaatkan kesempatan-kesempatan ketika berjumpa dengan orang-orang Kristen Arab, seperti dengan Bahira di Syria yang pertama memprediksi kenabian Muhammad, dan Waraqa, sepupuh istrinya, yang kemudian menjadi Kristen.

 

Sumber lain, menurut Culver, mengemukakan bahwa nabi Muhammad mendengar tentang ajaran Kristen dari rahib Bahira, yang belakangan dikenal menganut paham Arianisme (bidat Kristen).  Waraqa adalah salah seorang dari orang-orang Mekah yang meninggalkan polytheisme dan menjadi Kristen sebelum masa Islam. Culver bahkan menunjuk hadis Bukhari, yang menyebutkan bahwa Waraqa menyalin Injil ke dalam bahasa Ibrani, mempelajari dan menguasai Kitab Suci Kristen.  Waraqa juga yang meyakinkan nabi Muhammad ketika ragu tentang kebenaran malaikat Jibril, dan mengatakan bahwa malaikat itu pembawa pesan sorgawi.  Rupanya Muhammad sangat akrab pergaulannya dengan orang-orang Kristen pada masa pra Islam.  Karena dalam Al-Maidah 82, disebutkan : “dan sesungguhnya, engkau dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman (Islam), ialah orang-orang yang mengatakan: ‘Kami ini orang-orang Kristen.’”

 

Kalau Muhammad sudah mengenal secara mendalam tentang Al-Kitab sejak masa kecilnya, maka dengan demikian perbedaan isi yang terdapat dalam Alkitab dan Al-Qur’an untuk cerita atau pengajaran yang sama, terjadi bukan karena  Alkitab sudah dirubah oleh orang Kristen. Dapat dipastikan bahwa Alkitab yang ada dan digunakan oleh orang Kristen sekarang ini tidak mengalami perubahan, pemalsuan atau perusakan, seperti yang dituduhkan dari kaum Islam selama ini. Penyalinan atau penerjemahan dari naskah asli dalam versi-versi yang berbeda memang terjadi, tetapi tidak benar kalau para nabi dan rasul menulis perkara-perkara yang palsu dalam naskah asli tersebut, karena tidak ada naskah lain dari kitab-kitab Alkitab yang diturunkan langsung dari sorga.

 

Jadi para pengeritik dari kaum Islam menghayalkan sebuah Alkitab inerrancy, yang sebenarnya tidak pernah ada, karena tidak ada Alkitab yang diturunkan seperti Al-Qur’an.  Alkitab yang riil ada, yang memang ditulis oleh tangan para nabi dan rasul (manusiawi), dengan kosa kata mereka, tetapi dalam pengendalian (ilham) Roh Kudus (ilahi), dianggap errancy karena tidak sesuai dengan Al-Qur’an.

 

Sayang sekali para pengeritik dari kaum Islam mendasarkan pertimbangan dan pemikiran-pemikiran mereka atas tulisan-tulisan teolog Kristen penganut kritik historis liberal dan neoortodoks. Para teolog tersebut, sebagaimana telah diungkapkan pada pembahasan dalam bab sebelumnya, menolak paham inerrancy  Alkitab, dan berusaha membuktikan adanya banyak kontradiksi di dalamnya, karena tidak mengakui aspek supernatural dan menekankan orientasi natural semata-mata.  Seharusnya para pengeritik Islam, yang sangat menekankan keyakinan supernatural karena percaya Kitab Suci Al’Quran bukan berasal dari manusia melainkan diturunkan dari Allah, menolak penekanan pada otoritas rasio manusia dan karena itu juga menolak paham teologi liberal dan neoortodoks.

 

Dewasa ini semakin gencar upaya pengeritik dari kaum Islam untuk mendiskreditkan Alkitab, melalui terbitan buku-buku tulisan mereka sendiri atau dengan cara menerbitkan dalam terjemahan Bahasa Indonesia buku-buku teolog liberal dari Barat.  Kalau kaum Kristen di Indonesia melakukan pendiskreditan seperti ini pasti sudah mengalami teror.  Salah satu buku yang diterjemahkan, berjudul Salib di Bulan Sabit. Buku tersebut ditulis oleh seorang penganut Kritik Historis, Jerald F. Dirk, dengan judul asli The Cross & The Cresent. Latar belakang pendidikan teologi Dirk hanya Master of Divinity, sementara program doltoralnya dalam psikologi klinis.  Halaman judul dalam terjemahan Indonesia ditambahi embel-embel “Dialog Antariman Islam-Kristen”, tetapi sesungguhnya tulisan tersebut mendiskreditkan Alkitab, sehingga upaya penerbitan dalam Bahasa Indonesia termasuk juga pendiskreditan. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa kutipan berikut ini:

 

 

Kelima kitab ini [Pentateukh] bukan hanya komposisi yang tidak tunggal dan utuh, melainkan juga sering kali merupakan kompilasi tambal-sulam dari catatan-catatan tertulis atau untain-untaian literer sebelumnya, yang dikenal oleh dunia kesarjanaan alkitabiah sebagai J, E, P, dan D.[21]

 

Sifat tambal sulam dari pengkombinasian pelbagai untaian literer yang menentukan Taurat-yang-diterima telah menghasilkan beberapa inkonsistensi yang menarik. Salah satu contoh mengenai hal ini berkenaan dengan ketidakcocokan-ketidakcocokan antara kisah penciptaan dalam Kejadian 1:1-2:4a (yang berasal dari untaian P), dan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian 2:4b-25 (yang berasal dari untaian J).[22]

 

Analisis atas struktur kesusastraan dan sumber telah memungkinkan banyak kontras-signifikan yang bisa ditarik antara Alquran, Taurat-yang-diterima, dan Injil-injil kanonik dalam Perjanjian Baru. Perihal sumber dari keempat kitab suci ini, hanya Alquranlah yang merupakan dokumen tunggal dan utuh, dan hanya Alquranlah yang memiliki sumber yang dikenal dan terbukti.[23]

 

Ketiga kutipan di atas cukup memberi gambaran terhadap adanya upaya pendiskreditan Alkitab. Kebenaran Alkitab sebagai firman Allah tanpa salah memang tidak perlu diragukan hanya karena adanya perbedaan-perbedaan di dalamnya.  Sebab perbedaan-perbedaan tersebut justru mengungkapkan kekayaan data informasi, yang sebenarnya bukan kotradiksi melainkan kesukaran-kesukaran yang memerlukan hikmat ilahi dalam pemahamannya. Pembahasan dalam bab berikutnya akan memberi gambaran bagaimana cara memahami perbedaan-perbedaan tersebut, yang nantinya memberikan bukti-bukti bahwa tidak ada kontradiksi dalam Alkitab, dan karena itu inerrancy.



[1] H.Bey Arifin, Maria, Yesus dan Muhammad (Surabaya: Bina Ilmu, 1974), 62.

[2] Ibid., 63.

[3] Ahmad Deedat, Mukjizat Al-Quran Versi Kristolog, terjemahan Ibnu Hasan & Masyhud (Surabaya: Pustaka Da’i, 2000), 38-40.

[4] Jon Culver, “Perjumpaan Umat Kristiani dengan Umat Islam: Sebuah Pendahuluan Historis, Apologetis dan Misiologis.” Diktat STII Yogyakarta, t.t., 6.

[5] Ibid., 5. Bandingkan Surah 13:39 dan 85:21-22.

[6] Bambang Ruseno Utomo, Sebuah Pendahuluan Mengenai Islam (Malang: IPTh Bale Wiyata, t.t.), 57.

[7] Arifin, Maria, Yesus dan Muhammad, 70.

[8] Rahmatullah Alhindi “Mukjizat Al-Quran dalam Pandangan Rahmatullah Alhindi,” Rahmatullah Alhindi dan Ahmed Deedat, Mukjizat Al-Quran Versi Kristolog, terj. Masyhud (Surabaya: Pustaka Da’i, 2000), 117.

[9] Ahmed Deedat, “Mukjizat Al-Quran dalam Pandangan Ahmed Deedat,” Alhindi dan Deedat, Mukjizat Al-Quran Versi Kristolog, 39.

[10] Alhindi “Mukjizat Al-Quran,” Mukjizat Al-Quran Versi Kristolog, 138.

[11] Ibid., 149.

[12] Ibid.,  156.

[13] Arifin, Maria, Yesus dan Muhammad, 59.

[14] Arifin, Maria, Yesus dan Muhammad, 63-64.

[15] Ibid., 67.

[16] H. Kraemer, Agama Islam (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952), 15.

[17] Ibid., 16.

[18] Utomo, Sebuah Pendahuluan Mengenai Islam, 53.

[19] Arifin, Maria, Yesus dan Muhammad, 100.

[20] Ibid.

[21]Jerald F. Dirk, Salib di Bulan Sabit, terjemahan dan diselaraskan oleh Ruslani  dan Qasy-F Muhammad (Jakarta: Serambi, 2003), h. 72.

[22]Ibid., h. 74.

[23]Ibid., h. 92.